Agustus 12, 2025

Bung Hatta dan Kita (Sebuah Refleksi 123 Tahun Bung Hatta)


Menggali kehidupan Bung Hatta, seperti mendapatkan oase di Gurun Shara, menyauk kejernihan sikap, tindakan, perbuatan dan kata untuk melepaskan dahaga bangsa yang sedang diterpa anomali dan kemarut karakter yang menghambat terhadap kesejahteraan bangsa dan negara (silfia hanani, www.uinbukittinggi.ac.id ).

Bangsa Indonesia sangat memerlukan penguatan-penguatan terhadap jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Salah satu penguatan yang sangat diperlukan adalah tentang karakter bangsa. Dari Bung Hatta belajar banyak kita tentang karakter itu, dia tidak hanya sebagai salah satu tokoh proklamotor tetapi dibalik itu juga guru karakter menjadi suritauladan yang dapat dicontoh, digugu dan ditiru.

Banyak hal yang diyakinkan oleh Bung Hatta kepada kita, terutama tentang membangun bangsa dengan menguatkan fondasi karakter dengan sikap yang berpihak kepada kemajuan, dengan cara mekokohkan bangsa ini sebagai bangsa yang mencintai ilmu pengetahuan. Dimana generasi bangsanya, menjadi petarung hebat dalam menggali ilmu pengetahuan. Bukan menjadi petarung dalam gelar akademik dengan pepesan dangkal keilmuan. Wajarlah kiranya Bung Hatta itu, orang gigih dalam mencari dan menggali ilmu pengatahuan, baik digalinya melalui institusi pendidikan maupun melalui membaca buku yang berjlid-jilid halaman.

Bung Hatta sosok petarung yang gigih dalam mendalami ilmu pengetahuan. Masa kecilnya di Bukittinggi, telah diawalinya dengan kesadarn berpendidikan itu. Kemudian demi pendidikan itu pula layaknya anak lelaki di Minangkabau, harus pergi merantau untuk melanjutkan pendidikan. Bung Hatta dari Bukittinggi melanjutkan studinya ke kota padang sampai menyelesaikan sekolah menengah atas. Tidak puas disitu Bung Hatta juga pergi ke Jakarta dan sampai ke Belanda merantau untuk kelanjutna pendidikannya itu.

Bung Hatta dengan kekuatan ilmu yang dikuasainya itu, tumbuh menjadi sebagai seorang generasi yang menentukan masa depan bangsa. Pada masa pendidikan di Belanda 1921-1923 Bung Hatta telah mendefenisikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, bangsa yang harus merdeka. Tulisan-tulisan Bung Hatta tentang ide bernasnya tentang bangsa ini pun tersebar dimana-mana, karena dia rajin menuangkan daalam bentuk tulisan kemudian dimuat diberbagai koran, termasuk yang terbitkan di luar negeri.

Sebagai seorang intelektual, Bung Hatta mendidikasikan hidupnya untuk Indonesia merdeka, perjuangannya jelas Indonesia menjadi tanah air yang bebas dari belenggu penjajahan. Resiko perjuangan pun dilaluinya dari pengasingan satu kepengasingan yang lainnya, namun di dadanya seperti anak muda pergerakan lainnya Indonesia harus merdeka, Indonesia harus menentukan nasibnya dan keluar dari bayang-bayang penjajahan.

Bung Hatta, selain kita tiru pergerakannya untuk bangsa juga mesti kita tauldani tentang literasinya yang sulit tertandingi. Bung Hatta sebagai seorang pembaca ulung juga sebagai seorang penulis, dimana buku-buku hasil karyanya sampai saat kini masih sangat relevan dirujuk dan dikaji.

Sebagai seorang pembaca, Bung Hatta akrab dengan bahan bacaan dan buku-buku, sepertinya dimana Bung Hatta di situ ada buku bacaan. Bahkan Bung Hatta memberi tahu kepada kita, ia rela diasingkan jauh kepelosok asalkan ada buku bahan bacaan yang menyertainya. Ketika Bung Hatta akan diasingkan ke Boven Digoel Papua kemudian ke Banda Naire, ia mengajukan permohonan agar bukunya meyertainya dalam jumlah tidak sedikit, berpeti-peti seperti buku mnyertainya pulang dari sekolah dari Negeri Kincir Angin Belanda.

Di pengasingan, hari-hari dihabiskan Bung Hatta membaca buku dan menuangkan pemikirannya ke dalam tulisan, sebagaimana juga kebiasaanya yang sudah dilaluinya. Menulis dan membaca sudah menjadi tradisi hidup bagi Bung Hatta yang susah dipisahkan darinya. Tradisi ini dipeliharanya sampai akhir hayat. Dari tradisi menulis Bung Hatta kita dapat mentauladani banyak hal, dimana menulis Bung Hatta sampir sekencang membacanya.

Bung Hatta selama dipengasingan, telah menyelesaikan sebuah buku berjudul Alam Pikiran Yunani dimana buku itu masih relevan dijadikan rujukan sampai kini bahkan sampai kapanpun bagi yang belajar sejaranh dan pemikitan filosuf. Buuku ini pula dipersembahkan oleh Bung Hatta sebagai mahar pernikahannya dengan gadis tambatan hatinya Rahmi Hatta.

Untuk mendapatkan buku-buku bacaan, Bung Hatta telah membuat konsesus dengan dirinya, ia harus menjadi kolektor buku, ia tidak peduli dengan berapa uang yang dihabiskan. Tetapi ada cara yang dibiasakan dalam hidupnya, honor-honor yang diterimanya biasanya digunakan untuk membeli buku, seperti halnya ketika sekolah di Belanda, honor-honor menulisnya nyaris semuanya digunakan untuk membayar hutang ditoko buku. Maka wajar, sepulang dari sekolah Bung Hatta membawa buku dengan banyak packingan yang kemudian sebahagian besar menjadi koleksi perpustkaan pribadinya.

Dari Bung Hatta, kita banyak belajar tentang tradisi membaca dan menulis itu, karena kita menyadari tidak ada generasi hebat yang lahir tanpa membaca dan menulis tersebut. Keduanya itu kekuatan yang mendasar bagi generasi untuk membawa arah peradaban bangsa. Mungkin, indeks kualitas hidup kita sangat pengaruhi oleh bagaimana tradisi membaca dan menulis ini tumbuh dan bersemi dalam tradisi kita. Boleh jadi, semakin kuat tradisi literasi kita pelihara maka semakin hebat kualitas hidup, krena tradisi literasi itu memberikan pencerdasan kognitif, afektif dan psikomotorik pada kita. Hal itu telah dibuktikan Bung Hatta kepada kita, maka cara baik, cara baca dan berliterasi Bung Hatta ini elok kita tiru.

Kesederhanaan

Dari Bung Hatta kita harus belajar banyak tentang kesederhanaan. Sebagai tokoh proklamator dan wakil presiden pertama di negara ini, Bung Hatta sangat terkenal sebagai figur bangsa yang sederhana, malahan ia telah dijadikan sebagai role model negarawan yang berkarakter sederhana itu.

Kesederhanaan Bung Hatta, terekam dari gaya hidupnya yang tidak memaksakan diri, apalagi dengan mempergukan jabatannya untuk memperkaya. Bung Hatta membuat demarkasi yang tegas posisi jabatannya dengan eksistensinya individunya, ia sangat idealis tentang hal itu, tidak mudah bagi Bung Hatta mempergunakan fasilitas negara untuk kepentingan diluar itu.

Dengan demarkasi yang tegas itu, Bung Hatta telah rela menghadapi situasi-situasi hidup yang sulit secara ekonomi, dimana ia pernah nyaris tidak mampu membayar tagihan listrik dan air dirumah yang ditempatinya, pada hal degan posisinya sebagai mantan wakil presiden bisa saja dimanfaatkannya untuk kepentingan hidupnya, tetapi Bung Hatta tidak demikian adanya.

Kesederhanaan Bung Hatta, juga dapat dilihat dari gaya hidupnya yang tidak memaksakan diri di luar kemampuannya, seperti salah satunya ketidak sampaian niatnya sampai ajal menjemput untuk membeli sebuah sepatu karena tabungannya belum cukup.

Dari prinsip hidup kesederhanaan ini pula Bung Hatta, mendesain ekonomi bangsa dengan menumbuhkembangkan koperasi dan ekonomi kerakyatan. Dari prinsip ekonomi ini Bung Hatta, bercita-cita membangun rakyat Indonesia untuk mandiri dan memiliki kedaulatan ekonomi, yang dituntun oleh sikap dan mentalitas yang sederhana itu.

Mungkin dalam konteks kekinian, kesederhanaan Bung Hatta bisa dimaknai sebagai seuatu sikap mental yang tidak memaksakan diri diluar kesanggupan, kemudian berujung pada penyalahan-penyalahan eksistensi yang akhirnya sangat merugikan terhadap kedaulatan bangsa. Hal ini sebenarnya yang ditakutkan oleh Bung Hatta dari kita semua, terutama bagi penyelenggara negara, akan berujung pada korupsi dan eksploitasi kekayaan negara diluar untuk kepentingan negara.

Mentalitas dan sikap Kesederhanaan ini konsiten dilakukan Bung Hatta sampai akhir hayatnya. Hal ini bisa pula kita lihat dari wasiat tentang pemakamannya jika ia meninggal kelak tidak dikuburkan di Makam Pahlawan, tetapi makamkan di pemakaman umum supaya terbaring bersama-sama rakyatnya yang diperjuangkannya. Wasiat ini ditulis langsung oleh Bung Hatta dengan tulisan tangannya yang khas di atas kertas bersegel.

Jika mencari makam Bung Hatta jangan dicari ke Makam Pahlawan, tetapi carilah kepemakaman umum Tanah Kusir, di sini tokoh proklamor yang lahir di Bukittinggi tangga 12 Agustus 1902 ini di semayamkan setelah meninggal 14 Maret 1980.

Idealisme yang terjaga

Dari Bung Hatta kita juga dapat melihat sikap idealisme yang terjaga, sulit digoyahkan, bahkan ia mau mengundurkan diri dari posisinya sebagai wakil presiden untuk mempertahankan idealismenya itu, sehingga dua tokoh proklamator Soekarno dan Hatta berpisah dalam menahkodai bangsa.

Setelah Bung Hatta mengundurkan diri dari wakil presiden, konsisten idelaisme itu tetap dijaganya. Setidaknya ia tuangkan dalam bentuk tulisan-tulisan bernas yang ditulisnya dan dalam pergerakan akademik yang dibangunnya dari kampus ke kampus. Bung Hatta sadar betul, idealisme itu harus kita miliki dalam mengelola bangsa ini. Ketika bangsa telah meminggirkan prinsip idealisme itu, yakinlah kemajuan dan kedaulatan bangsa pupus dari harapan, bahkan terperuk jauh ketinggalan sekalipun bangsa itu dibalut oleh sumber daya yanga sangat kaya.

Ideslisme ini, dibangun Bung Hatta semenjak muda dan aktif dalam pergerakan sehingga, seperti pada masa menjadi ketua organisasi siswa di Padang, Bung Hatta telah menampakkan keidealismean itu melalui prinsip kemerdekaan yang harus diperjuangkannya, harus menyingkirkan ketidakadilan. Termasuk ketika dia menjadi ketua perhimpunan pemuda Indonesia di luar negeri prinsip idealisme ini semakin dipupuknya, sehingga ia bersuara lantang untuk Indonesia bebeas dari penjajahan, sekalipun tantangannya penjara.

Oleh sebab itu, tidak mudah untuk mendikte Bung Hatta untuk keluar dari prinsip idealisme kebangsaan yang dimilikinya. Bagi Bung Hatta, idealisme itu adalah kerangka mendasar yang harus ditumbuhkembangkan dalam pengelolaan bangsa, sebab sikap ini akan berbanding lurus dengan kepada kemakmuran dan kemajuan bangsa. Artinya, jika bangsa ini digerakan oleh semangat idealisme itu maka pertumbuhan akan kesejateraan bangsa juga akan semakin nampak. Sebaliknya jika idealisme itu sudah tergadai, maka yang terjadi adalah kemunduran dan ketidaksejahteraan rakyat semakin lebar, hal ini bisa kita pelajari dan lihat dari berbagai sejarah di belahan negara, jatuh miskinnya sebuah negara akibat dari dipadati oleh keitidakidelismean penyelenggara negaranya.

Kita mesti belajar kekukuhan idealisme kebangsaan Bung Hatta ini kemudian dimanifestasikan untuk konteks kekinian, sehingga bangsa kita yang dihuni oleh lebih 270 juta jiawa ini jelas mau dibawa kemana. Tidak terobang ambing oleh kerapuhan sikap pengelolanya. Kita mesti menacapkan kekuatan-kekuatan idealisme untuk kepentingan kemajuan bangsa ini. Terakhir, selamat hari jadi Bung Hatta yang ke-123 tahun. (*)

(Telah diposting di hariansinggalang.co.id)

Tags :

Pustakawan

terima kasih telah mengunjungi Perpustakaan, gali ilmu setinggi tingginya.

  • Pustakawan
  • Perpustakaan UIN Bukittinggi
  • perpustakaan@uinbukittinggi.ac.id

Posting Komentar